Oleh Jones Sirait
Direktur Pusat Analisis Informasi
Pariwisata
SEPANJANG tahun 2011,
dunia menghadapi tiga peristiwa terbesarnya yakni ekonomi yang tidak
stabil sebagai dampak krisis ekonomi Amerika Serikat danEropa, instabilitas
politik dengan berbagai demonstrasi dan tergulingnya sejumlah pemimpin di Afrika
Utara/ Timur Tengah, serta bencana alam yang merenggut sejumlah wilayah di
dunia.
Beberapa dari peristiwa ini ada
yang tidak terlalu berpengaruh kepada pariwisata Indonesia, namun ada juga yang
berpengaruh langsung. Krisis ekonomi AS dan Eropa secara langsung tidak terlalu
berdampak, selain karena jumlah kunjungan wisatawan asal negara-negara ini ke
Indonesia terbilang kecil, juga karena ada keyakinan berdasarkan pengalaman
sejauh ini, krisis ekonomi tidak terlalu signifikan menurunkan kunjungan,
kecuali pada sisi pengeluaran yang lebih kecil daripada waktu normal.
Gelombang aksi unjukrasa di Timur
Tengah, khususnya di destinasi wisata popular di kawasan ini, yakni Mesir dan
Tunisia, telah berdampak sangat serius terhadap kunjungan ke negara tersebut,
akibat instabilitas keamanan, namun di satu sisi justru memberikan “keuntungan”
bagi negara-negara di yang memiliki pantai di kawasan Laut Medirania, seperti
Spanyol, Turki, Italia, dan Yunani. Namun terhadap Indonesia, tentunya
kurang signifikan salah satunya karena faktor jarak yang begitu jauh, meskipun
sebenarnya tetap membuka peluang besar jika saja Indonesia mampu memberikan
sentuhan pemasaran yang cepat tanggap, khususnya bagi wisatawan asal Eropa dan
Eropa Timur (Perancis, Rusia, Jerman, Italia dan Inggris).
Beberapa peristiwa bencana alam,
khususnya yang terjadi di Jepang, juga banjir besar di Thailand, dapat disebut
memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap Indonesia. Pengaruhnya, tentu
saja, bisa dalam berbagai bentuk sesuai negaranya. Untuk Jepang, signifikansinya
tentu karena negara ini merupakan lima besar negara sumber wisatawan bagi
Indonesia, dan nomor dua terbesar untuk Bali. Sementara bencana banjir di
Thailand, bukan dalam konteks penurunan wisman asal Thailand ke Indonesia yang
sebenarnya terbilang kecil, tapi justru kekurang jelian kita dalam
menangkap peluang untuk “mengalihkan” kunjungan wisatawan dari negara-negara
lain yang sedianya berkunjung ke Thailand ke destinasi wisata di Indonesia.
Sebut saja pasar utama mereka Malaysia, China, Inggris dan Jepang. Hal yang
sama juga berlaku bagi Indonesia saat Jepang diguncang gempa dan bencana
radiasi PLTN Fukushima.
Di dalam negeri, sejumlah
peristiwa yang terkait pariwisata yang patut diperhitungkan antara lain adalah
perubahan nama kementerian dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menjadi
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dan bergesernya pejabat yang
memimpinnya yaitu Jero Wacik yang dipindah ke Kementerian ESDM, dan digantikan
oleh Mari Elka Pangestu di kementerian pariwisata, yang sebelumnya menduduki
Menteri Perdagangan. Perubahan-perubahan itu semakin menarik ketika Presiden
SBY memilih untuk mengangkat seorang wakil menteri yakni Sapta Nirwandar, yang
sebelumnya menjabat Dirjen Pemasaran, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Selanjutnya adalah pelaksanaan
sejumlah event MICE dan sport event antara lain SEA Games XVI dengan
pembangunan berbagai venue di Palembang, Sumatera Selatan; pelaksanaan sejumlah
pertemuan ASEAN mulai dari berbagai tingkatan pejabatnya, mulai dari menteri,
hingga kepala negara/kepala pemerintahan seperti KTT ASEAN, KTT ASEAN plus 3
dan KTT Asia Timur, yang juga dihadiri Presiden AS Barack Obama dan PM China
Wen Jiabao. Indonesia juga berhasil menggelar pertemuan pariwisata, Konferensi
Pariwisata Indonesia untuk membahas persoalan yang terkait destinasi,
keterpaduan antara pusat dan daerah dan hal-hal yang terkait dengan industry,
meski masih perlu diuji apakah “apa yang terucap akan sama dengan apa yang
diperbuat”.
Dari sisi destinasi, kita melihat
menonjolnya beberapa destinasi pada tahun 2011, seperti Solo plus Yogyakarta
dan Semarang (Jawa Tengah dan DI Yogyakarta), Lombok (NTB), Bangka Belitung,
dan Sulawesi Selatan (Sulsel), termasuk Komodo (NTT). Dapat disebut
penonjolan itu lebih kuat dilakukan oleh pemerintah daerah masing-masing
daripada oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata., kecuali dalam konteks
pengembangan Kawasan Mandalika, Lombok, yang masih terkait dengan program MP3EI
dari pemerintah. Persoalan ini ditutup dengan manis dengan kasus “pertengkaran”
yang terjadi oleh pejabat di kementerian dalam kasus Komodo dengan pihak
New7Wonders Foundation, yang menunjukkan bahwa kemenangan Komodo pada ajang itu
adalah oleh kekuatan massa yang dikomandoi Jusuf Kalla, terlepas dari pro dan
kontra mengenai kredibilitas penyelenggara ajang itu.
Dari sisi pemasaran, kita
mendengar berbagai program pemasaran yang dilakukan mulai awal tahun 2011
dengan mengikuti berbagai pameran dan road show di luar negeri, namun sayangnya
belum diketahui bagaimana efektivitas semua kegiatan yang menghabiskan anggaran
cukup besar tersebut. Termasuk disini adalah pembiayaan sejumlah event wisata,
pasar wisata, dan sport tourism di sejumlah daerah di Indonesia. Pertanyaannya
adalah bagaimana dampak promosi dan pemasaran event tersebut terhadap
pariwisata Indonesia? Mengapa sulit untuk mendatangkan peserta lebih banyak
dari luar negeri? Kementerian juga gagal membentuk Badan Promosi Pariwisata
Indonesia (BPPI) yang merupakan amanat UUNo10/2009 tentang Kepariwisataan,
namun disisi lain akibat dinamika yang begitu kuat dan peluang yang diberikan
UU No10/2009 kita juga melihat trend pembentukan badan promosi di daerah, yang
sebagian bergerak namun sebagian lagi stagnan. Kita tidak sepenuhnya
mempersalahkan daerah dalam persoalan ini, tapi justru ikut menjadi tanggung
jawab pusat yang kurang bisa memberikan tuntunan yang baik dan benar dalam
urusan ini.
Selain itu, strategi pemasaran
yang masih terpaku pada pameran di luar negeri dan road show menunjukkan
miskinnya pengelolaan pemasaran yang dilakukan Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata. Tantangan yang menarik dari sisi online atau e-commerce yang belum
begitu serius digarap, termasuk masih lemahnya industry dalam mengembangkan
strategi pemasaran secara online. Yang lebih merepotkan, sepertinya belum
terbentuknya sebuah formulasi yang mantap mengenai kerjasama antara “destinasi”
dan “pemasaran”, terhadap persoalan ”siapa yang berhak untuk mengelola apa”,
termasuk belum terintegarasinya bidang-bidang di kementerian saat berhadapan
dengan sebuah event yang seharusnya bisa digarap bersama-sama.
Tantangan 2012
Bagaimana dengan tahun 2012 ini?
Tahun ini, menurut saya akan menjadi tahun pembuktian, tahun dan kerja keras,
dengan berbagai tantangan perubahan yang harus dijawab jajaran kementerian,
termasuk industry dan stakeholder lainnya. Ibarat kancing baju, langkah pertama
yang salah akan membuat kancing berikutnya juga salah. Harapan kita, Mari Elka
Pangestu bisa dengan smooth melakukan berbagai perubahan itu. Apa saja?
Pertama, tentu saja terkait dengan
adanya tantangan restrukturisasi organisasi kementerian dengan masuknya ekonomi
kreatif. Saya melihat ini tantangan paling besar, karena akan sangat menentukan
bagi perjalanan kementerian pada tahun pertama sejak diangkatnya menteri baru.
Dalam hal ini kita agaknya perlu
memberikan saran bahwa konsep ekonomi kreatif harusnya dipandang sebagai
pendukung pariwisata, bukan sebaliknya pariwisata sebagai bagian ekonomi
kreatif. Cara pandang yang berbeda akan membuat struktur kementerian akan
menjadi gemuk, dan bisa akan kehilangan orientasi karena tidak lagi focus
kepada pengembangan pariwisata.
Kedua, terkait pemasaran, tahun
2012 akan menjadi tahun tantangan baru bagaimana pemasaran bukan lagi
sekadar business as usual, tapi sebuah kondisi yang memaksa harus dengan
pendekatan dan metode baru yang lebih efektif dan (kalau boleh) juga efisien.
Bila perlu pameran di luar negeri harus dikurangi hanya terhadap event yang
sudah terbukti berpengaruh kuat saja, mengurangi negara sasaran hanya kepada
negara yang berdampak langsung, dan lebih banyak pada pendekatan bilateral.
Harus ada reaksi cepat tanggap dalam arti melakukan intervensi pasar sesuai
kondisi yang terjadi di tengah jalan, seperti dalam kasus-kasus yang dialami
negara pesaing (seperti dialami Jepang dan Thailand di atas). Selain itu,
perlu keseriusan lebih untuk menggarap sisi online, dengan integrasi destinasi,
dunia usaha dan membuka jaringan pemasaran baru di luar negeri. Bahkan demi
transparansi public, bila perlu dilakukan review dan pelaporan serta
pertanggungjawaban public setiap event pemasaran yang dilakukan di luar negeri.
Ketiga, dari sisi destinasi,
Ripparnas memang telah disusun, tapi selain perlu sosialisasi, perlu
penajaman-penajaman terkait rencana-rencana pembangunan kewilayahan dan program-program
yang dilakukan sektor lain termasuk program-program lain. Kita harus mampu
menjawab rencana induk yang sudah dibuat itu bisa menjawab tantangan
pengembangan destinasi sesuai tantangan riil perkembangan kawasan
regional, dan mempertimbangkan kondisi geografis, geologis dan sosiologis yang
ada. Menurut kami, untuk ke depan, tantangan riil yang kita hadapi terkait
persaingan dengan negara tetangga, destinasi terkait dengan Kalimantan (Kalbar
dan Kaltim), dan pantai Timur Sumatera (Jambi, Sumsel, Riau, Kepri, Babel)
menjadi sangat menentukan, dan tidak boleh dipandang sebelah mata.
Keempat, tantangan efisiensi
anggaran. Bagian ini rumit, karena anggaran 2012 tentu sudah ditetapkan
sebelumnya. Namun begitu perlu menjadi bahan pemikiran misalnya efektivitas
bantuan pendanaan untuk berbagai event, festival dan lainnya yang jangan sampai
tidak bertanggungjawab. Salah satu yang sangat membantu tentunya adalah
penataan ulang event atau festival yang ada di berbagai daerah, dan mendorong
terwujudnya event tetap yang besar dan fokus dalam penggarapannya per
destinasi, dan satu event pendukung, bila tidak per provinsi bisa juga
perpaduan sejumlah provinsi yang terkait. Begitu juga dengan event
pameran wisata secara nasional, bila perlu didorong agar terjadi merger atau
apapun istilahnya sehingga dapat dihasilkan hasil optimal.
Kelima, mengantisipasi
pertumbuhan hotel di berbagai daerah, pemerintah pusat dan pemerintah daerah
didukung asosiasi terkait perlu membuat road map pembangunan hotel, dengan
tetap menjaga persaingan usaha yang sehat. Bila perlu untuk destinasi tertentu
yang kapasitas kamar yang ada sudah sangat melebihi dari potensi kunjungan yang
ada untuk melakukan moratorium untuk jangka waktu sementara.
Keenam, Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif harus mampu menjawab tantangan riset dan statistik
pariwisata dan ekonomi kreatif yang mendukung perkembangan industry melalui
kerjasama dengan berbagai pihak. Miskinnya statistik dan riset yang mendukung
industri sangat mencemaskan, dan harus kebangkitan pariwisata harus dimulai
dari sana, termasuk menyediakan informasi tersebut kepada publik dan industri
secara regular. Diantara riset dan statistik yang sangat mendesak untuk
diadakan tahun 2012 ini adalah riset dan statistik wisata MICE.
Ketujuh, dari berbagai harapan
ini, kita kemudian berharap khusus untuk penerimaan wisatawan mancanegara,
adanya kenaikan signifikan yang tidak hanya berkutat pada angka persentase satu
digit tapi melompat ke dua digit. Kemudian untuk wisatawan nusantara lebih
agresif melalui berbagai skema pemberian kemudahan bagi perjalanan dan kampanye
yang terus-menerus sebagai bagian dari Sadar Wisata, serta sinergi
antardestinasi yang berdekatan.(*)