1. Etika Bisnis
Etika bisnis merupakan etika
yang berlaku dalam kelompok para pelaku bisnis dan semua pihak yang terkait
dengan eksistensi korporasi termasuk dengan para kompetitor. Etika bisnis
merupakan suatu etika yang harus diterapkan dalam bisnis yang tidak hanya
memperlakukan para konsumen dan karyawan secara jujur, tapi juga bertindak
sebagai seorang warga negara yang baik didalam komunitas.
► Macam
Etika Bisnis:
Etika
yang harus ada dalam benak dan jiwa setiap pengusaha adalah sebagai berikut :
a. Kejujuran
a. Kejujuran
b. Bertanggung Jawab
c. Menepati Janji
d. Disiplin
e. Taat hukum
f. Suka membantu
g. Komitmen dan menghormati
h. Mengejar prestasi
2. Enam Tingkatan Membangun Moral
Menurut ahli psikologi, Lawrence Kohlberg, dengan risetnya selama 20 tahun,
menyimpulkan, bahwa ada 6 tingkatan (terdiri dari 3 level, masing-masing 2
tahap) yang teridentifikasi dalam perkembangan moral seseorang untuk berhadapan
dengan isu-isu moral. Tahapannya adalah sebagai berikut :
1) Level satu : Tahap Prakonvensional
Pada tahap pertama, seorang anak dapat merespon peraturan dan ekspektasi
sosial dan dapat menerapkan label-label baik, buruk, benar dan salah.
Tahap satu : Orientasi Hukuman dan Ketaatan. Pada tahap ini, konsekuensi fisik sebuah tindakan
sepenuhnya ditentukan oleh kebaikan atau keburukan tindakan itu. Alasan anak
untuk melakukan yang baik adalah untuk menghindari hukuman atau menghormati
kekuatan otoritas fisik yang lebih besar.
Tahap dua : Orientasi Instrumen dan Relativitas. Pada tahap
ini, tindakan yang benar adalah yang dapat berfungsi sebagai instrument untuk
memuaskan kebutuhan anak itu sendiri atau kebutuhan mereka yang dipedulikan
anak itu.
2) Level dua : Tahap Konvensional
Pada level ini, orang tidak hanya berdamai dengan harapan, tetapi
menunjukkan loyalitas terhadap kelompok beserta norma-normanya. Remaja pada
masa ini, dapat melihat situasi dari sudut pandang orang lain, dari perspektif
kelompok sosialnya.Tahap Tiga : Orientasi pada Kesesuaian Interpersonal. Pada tahap
ini, melakukan apa yang baik dimotivasi oleh kebutuhan untuk dilihat sebagai
pelaku yang baik dalam pandangannya sendiri dan pandangan orang lain.
Tahap Empat : Orientasi pada Hukum dan Keteraturan. Benar dan salah pada tahap konvensional yang lebih dewasa, kini ditentukan
oleh loyalitas terhadap negara atau masyarakat sekitarnya yang lebih besar.
Hukum dipatuhi kecuali tidak sesuai dengan kewajiban sosial lain yang sudah
jelas.
3) Level tiga : Tahap
Postkonvensional, Otonom, atau Berprinsip
Pada tahap ini, seseorang tidak lagi secara sederhana menerima nilai dan
norma kelompoknya. Dia justru berusaha melihat situasi dari sudut pandang yang
secara adil mempertimbangkan kepentingan orang lain. Dia mempertanyakan hukum
dan nilai yang diadopsi oleh masyarakat dan mendefinisikan kembali dalam
pengertian prinsip moral yang dipilih sendiri yang dapat dijustifikasi secara
rasional. Hukum dan nilai yang pantas adalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip
yang memotivasi orang yang rasional untuk menjalankannya.
Tahap Lima : Orientasi pada Kontrak Sosial. Tahap ini, seseorang menjadi sadar bahwa mempunyai beragam pandangan dan pendapat personal yang bertentangan dan menekankan cara yang adil untuk mencapai consensus dengan kesepahaman, kontrak, dan proses yang matang. Dia percaya bahwa nilai dan norma bersifat relative, dan terlepas dari consensus demokratis semuanya diberi toleransi.
Tahap Lima : Orientasi pada Kontrak Sosial. Tahap ini, seseorang menjadi sadar bahwa mempunyai beragam pandangan dan pendapat personal yang bertentangan dan menekankan cara yang adil untuk mencapai consensus dengan kesepahaman, kontrak, dan proses yang matang. Dia percaya bahwa nilai dan norma bersifat relative, dan terlepas dari consensus demokratis semuanya diberi toleransi.
Tahap Enam : Orientasi pada Prinsip Etika yang Universal. Tahap akhir
ini, tindakan yang benar didefinisikan dalam pengertian prinsip moral yang
dipilih karena komprehensivitas, universalitas, dan konsistensi. Alasan
seseorang untuk melakukan apa yang benar berdasarkan pada komitmen terhadap
prinsip-prinsip moral tersebut dan dia melihatnya sebagai kriteria untuk mengevaluasi semua aturan dan tatanan moral yang lain.
3. Aplikasi Standar Moral
Moralitas adalah pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa
itu benar dan salah, atau baik dan jahat. Pedoman moral mencakup norma-norma yang kita miliki
mengenai jenis-jenis tindakan yang kita yakini benar atau salah secara moral,
dan nilai-nilai yang kita terapkan pada objek-objek yang kita
yakini secara moral baik atau secara moral buruk. Standar moral pertama kali terserap ketika masa
kanak-kanak dari keluarga, teman, pengaruh kemasyarakatan seperti gereja,
sekolah, televisi, majalah, music dan perkumpulan.
Hakekat standar moral
:
- Standar moral berkaitan dengan persoalan yang kita anggap akan
merugikan secara serius atau benar-benar akan menguntungkan manusia.
- Standar moral tidak dapat ditetapkan atau diubah oleh keputusan dewan
otoritatif tertentu.
- Standar moral harus lebih diutamakan daripada nilai lain termasuk
(khususnya) kepentingan diri.
- Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak.
- Standar moral diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa kata
tertentu.
Standar moral, dengan demikian, merupakan standar yang berkaitan dengan persoalan yang kita anggap mempunyai konsekuensi serius, didasarkan pada penalaran yang baik bukan otoritas, melampaui kepentingan diri, didasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak, dan yang pelanggarannya diasosiasikan dengan perasaan bersalah dan malu dan dengan emosi dan kosa kata tertentu.
4. Tanggung Jawab Moral
Kapankah
secara moral seseorang bertanggung jawab atau disalahkan, karena melakukan
kesalahan? Seseorang secara moral bertanggung jawab atas tindakannya dan
efek-efek merugikan yang telah diketahui ;
a. Yang dilakukan atau dilaksanakan seseorang dengan sengaja dan secara bebasb. Yang gagal dilakukan atau dicegah dan yang secara moral keliru karena orang itu dengan sengaja atau secara bebas gagal melaksanakan atau mencegahnya.
Ada kesepakatan umum, bahwa ada dua kondisi yang sepenuhnya menghilangkan tanggung jawab moral seseorang karena menyebabkan kerugian ;
- Ketidaktahuan
- Ketidakmampuan
Kesimpulan mendasar tentang tanggung jawab moral atas kesalahan atau
kerugian yang memperingan tanggung jawab moral seseorang yaitu :
- Secara moral individu, bertanggung jawab atas tindakan yang salah yang
dia lakukan (atau yang secara keliru dia lalaikan) dan atas efek-efek
kerugian yang disebabkan (atau yang gagal dia cegah) ketika itu dilakukan
dengan bebas dan sadar.
- Tanggung jawab moral sepenuhnya dihilangkan (atau dimaafkan) oleh ketidaktahuan
dan ketidakmampuan
- Tanggung jawab moral atas kesalahan atau kerugian diringankan oleh :
- Ketidak pastian
- Kesulitan
A. Tanggung Jawab
Perusahaan
Dalam perusahaan modern, tanggung jawab atas tindakan perusahaan sering didistribusikan kepada sejumlah pihak yang bekerja sama. Tindakan perusahaan biasanya terdiri atas tindakan atau kelalaian orang-orang berbeda yang bekerja sama sehingga tindakan atau kelalaian mereka bersama-sama menghasilkan tindakan perusahaan. Jadi, siapakah yang bertanggung jawab atas tindakan yang dihasilkan bersama-sama itu?
Pandangan tradisional berpendapat bahwa mereka yang melakukan secara sadar dan bebas apa yang diperlukan perusahaan, masing-masing secara moral bertanggung jawab.
Lain halnya pendapat para kritikus pandangan tradisional, yang menyatakan bahwa ketika sebuah kelompok terorganisasi seperti perusahaan bertindak bersama-sama, tindakan perusahaan mereka dapat dideskripsikan sebagai tindakan kelompok, dan konsekuensinya tindakan kelompoklah, bukan tindakan individu, yang mengharuskan kelompok bertanggung jawab atas tindakan tersebut.
B. Tanggung Jawab
Bawahan
Dalam
perusahaan, karyawan sering bertindak berdasarkan perintah atasan mereka. Perusahaan biasanya memiliki struktur yang lebih tinggi ke beragam agen pada
level yang lebih rendah. Jadi, siapakah yang harus bertanggung jawab secara
moral ketika seorang atasan memerintahkan bawahannya untuk melakukan tindakan
yang mereka ketahui salah? Hanya atasan yang secara moral bertanggung jawab atas tindakan yang keliru,
bahkan jika bawahan adalah agen yang melakukannya. Pendapat tersebut keliru,
karena bagaimanapun tanggung jawab moral menuntut seseorang bertindak secara
bebas dan sadar, dan tidak relevan bahwa tindakan seseorang yang salah
merupakan pilihan secara bebas dan sadar mengikuti perintah. Ada batas-batas
kewajiban karyawan untuk mentaati atasannya. Seorang karyawan tidak mempunyai
kewajiban untuk mentaati perintah melakukan apapun yang tidak bermoral.
5. Contoh Pelanggaran Etika Bisnis
a. Pelanggaran etika bisnis terhadap prinsip
pertanggungjawaban
Sebuah perusahaan PJTKI di Jogja melakukan rekrutmen untuk tenaga baby sitter. Dalam pengumuman dan perjanjian dinyatakan bahwa perusahaan berjanji akan mengirimkan calon TKI setelah 2 bulan mengikuti training dijanjikan akan dikirim ke negara-negara tujuan. Bahkan perusahaan tersebut menjanjikan bahwa segala biaya yang dikeluarkan pelamar akan dikembalikan jika mereka tidak jadi berangkat ke negara tujuan. B yang terarik dengan tawaran tersebut langsung mendaftar dan mengeluarkan biaya sebanyak Rp 7 juta untuk ongkos administrasi dan pengurusan visa dan paspor. Namun setelah 2 bulan training, B tak kunjung diberangkatkan, bahkan hingga satu tahun tidak ada kejelasan. Ketika dikonfirmasi, perusahaan PJTKI itu selalu berkilah ada penundaan, begitu seterusnya. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa Perusahaan PJTKI tersebut telah melanggar prinsip pertanggungjawaban dengan mengabaikan hak-hak B sebagai calon TKI yang seharusnya diberangnka ke negara tujuan untuk bekerja.
b. Pelanggaran etika bisnis terhadap transparansi
Sebuah Yayasan
X menyelenggarakan pendidikan setingkat SMA. Pada tahun ajaran baru sekolah
mengenakan biaya sebesar Rp 500.000,- kepada setiap siswa baru. Pungutan
sekolah ini sama sekali tidak diinformasikan kepada mereka saat akan mendaftar,
sehingga setelah diterima mau tidak mau mereka harus membayar. Disamping itu
tidak ada informasi maupun penjelasan resmi tentang penggunaan uang itu kepada
wali murid.
Setelah didesak oleh banyak pihak, Yayasan baru memberikan informasi bahwa uang itu dipergunakan untuk pembelian seragama guru. Dalam kasus ini, pihak Yayasan dan sekolah dapat dikategorikan melanggar prinsip transparansi.
Setelah didesak oleh banyak pihak, Yayasan baru memberikan informasi bahwa uang itu dipergunakan untuk pembelian seragama guru. Dalam kasus ini, pihak Yayasan dan sekolah dapat dikategorikan melanggar prinsip transparansi.
c. Pelanggaran etika bisnis terhadap akuntabilitas
Sebuah RS Swasta
melalui pihak Pengurus mengumumkan kepada seluruh karyawan yang akan mendaftar
PNS secara otomotais dinyatakan mengundurkan diri. A sebagai salah seorang
karyawan di RS Swasta itu mengabaikan pengumuman dari pihak pengurus karena
menurut pendapatnya ia diangkat oleh Pengelola dalam hal ini direktur, sehingga
segala hak dan kewajiban dia berhubungan dengan Pengelola bukan Pengurus. Pihak
Pengelola sendiri tidak memberikan surat edaran resmi mengenai kebijakan
tersebut.
Karena sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini RS Swasta itu dapat dikatakan melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah Sakit.
Karena sikapnya itu, A akhirnya dinyatakan mengundurkan diri. Dari kasus ini RS Swasta itu dapat dikatakan melanggar prinsip akuntabilitas karena tidak ada kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban antara Pengelola dan Pengurus Rumah Sakit.
sumber :
Meta Puspita Sari
14611442
2Sa04